Pada artikel sebelumnya Media Buffet telah membahas ,5 Salah Kaprah Digital PR yang selama ini banyak dilakukan oleh kalangan akademisi hingga pelaku public relation itu sendiri. Mulai artikel ini, kami ingin membedah satu per satu 5 kesalahan tersebut. Baca sampai habis, ya, agar kalian tidak terjebak dengan kesalahan yang sama.
Masih ingat dengan kasus ancaman UU ITE yang dilayangkan konsumen kepada salah satu pegawai Alfamart? Kasus ini cukup banyak menyita perhatian masyarakat. Muncul dan ramai di ranah digital sampai pengacara kondang Hotman Paris pun ikut campur.
Kasus tersebut memang telah berakhir. Namun ada hal menarik terkait yang dilakukan manajemen Alfamart dalam merespon kasus tersebut. Mereka mengeluarkan statement atau pernyataan terbuka dan mempublikasikannya di akun official media sosial mereka.
Apakah yang dilakukan manajemen Alfamart adalah bentuk aktivitas public relation? Benar! Tapi apakah juga layak disebut sebagai aktivitas Digital PR? Belum tentu.
Daftar Isi:
Peran Media Sosial dalam Digital PR
Digital PR atau Digital Marketing?
Mengutip riseatseven, digital PR merupakan kumpulan dari berbagai strategi yang dilakukan oleh sebuah brand untuk meningkatkan digital presence mereka. Dan layaknya sebuah strategi maka harus dilakukan secara terukur.
Public relation konvensional didefinisikan sebagai sebuah strategi komunikasi dalam upaya membangun relasi antara brand dengan publik, dalam hal ini konsumen. Relasi yang kuat biasanya terbangun atas dasar interest, trust, dan reputation. Digital PR memiliki tujuan yang sama namun dengan strategi yang lebih kompleks dan media yang berbeda, yaitu daring atau online.
Kami katakan “lebih kompleks” karena digital PR mensinergikan strategi PR konvensional dan strategi digital marketing.
Lho, kok, malah ke digital marketing? Biar nggak bingung, baca terus artikelnya, ya.
Peran Digital Marketing
Digital PR memang tak bisa dilepaskan dari digital marketing. Karena ilmu digital PR sendiri muncul dari para pakar digital marketing sejak awal tahun 2000-an. Ketika itu Google, sebagai search engine, baru saja meluncurkan program iklan online mereka (adsense/adwords).
Program ini terbilang unik karena tidak hanya memberi ruang bagi brand, perusahaan untuk mempromosikan produk mereka secara online namun juga memberikan peluang kepada publisher, seperti blogger, untuk mendapatkan uang dari program iklan tersebut.
Program iklan Google kemudian memunculkan kompetisi baru, yaitu kompetisi agar website atau berita tentang produk muncul di halaman satu Google. Alasannya, ketika orang ingin mencari informasi pasti ‘lari’ ke Google dan rata-rata hanya melihat pada halaman pertama hasil pencarian Google.
Untuk memenangkan kompetisi tersebut, muncul ilmu digital marketing atau pemasaran digital, yang didalamnya mencakup Keyword, Search Engine Optimization, link building, dan lain-lain. Sampai di sini mulai paham, kan?
Lucunya, output dari digital marketing yang dipraktekkan ternyata tidak hanya menuju konversi penjualan, namun juga menyangkut interest, reputation, trust, dan relationship. Persis banget dengan tujuan PR konvensional, ya?
Strategi digital marketing, ternyata bisa membuat orang menyukai produk dan ingin belanja. Dengan sentuhan strategi public relation, muncul trust yang disusul dengan peningkatan reputasi, lalu terbangun relasi yang kuat antara konsumen dengan brand (brand awareness). Lambat laun, brand mulai semakin melirik ranah digital untuk mengenalkan brand mereka. Seperti menyebarkan promosi, campaign bahkan pers release di media sosial.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah yang dilakukan Alfamart termasuk aktivitas digital PR?
Benar! ketika itu dilakukan dengan menggunakan strategi digital PR. Namun jika hanya sekedar posting di media sosial tanpa strategi, jelas itu hanya aktivitas PR konvensional.
Wiko Rahardjo