TikTok Kudeta Instagram, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

“Kiniiii sendiri disiniiiii… Mencarimuu tak tahu dimanaaa… “ 

Sounds familiar right? Kayak pernah dengar dimana gitu.

Jujur deh, goyang-goyang nggak pinggang anda waktu dengar versi remix lagu ini? Pinggang saya sih enggak. 

……

Tapi kepala, jempol kaki saya tiba-tiba auto goyang (meminjam istilah netizen) dan dua jari telunjuk ini tiba-tiba bergerak searah jarum jam sambil melingkar sambil menunjuk ke atas

; D

Kalau somehow anda belum dengar cuplikan lagu berjudul “Kemarin” yang diremix dan jadi viral se tanah air Indonesia, biar kita on the same page, silahkan dengar dulu lagunya di sini, sambil lanjut baca artikel ini. 

Lagu “Kemarin” waktu awalnya dirilis oleh band Seventeen sebenarnya tidak meledak sebegininya. Tapi begitu di remix jadi versi TikTok dan dipasangkan sama “goyang blender”, lagu ini mendadak meledak. Btw, yang belum tahu goyang blender itu apa, boleh cek video ini.

Kombinasi “Goyang blender” dengan lagu remix “Kemarin” bukan satu-satunya yang mewabah di netizen Indonesia. Sebelumnya juga ada wabah “Goyang Ubur-Ubur”, dan viralnya lagu “Entah Apa yang Merasukimu” yang diremix oleh so-called DJ Gagak. 

Waktu TikTok mulai banyak “merasuki” Indonesia sekitar tahun 2018, saya banyak dengar orang-orang, termasuk para PR dan marketeers yang menganggap TikTok sebagai platform murahan dan norak, yang cuma cocok untuk masyarakat ekonomi bawah, atau remaja alay. 

Saya sendiri dua tahun lalu memprediksi umur TikTok nggak akan tahan lama, nggak seperti social media lainnya, sebutlah Facebook, Twitter, Snapchat, Youtube dan Instagram. 

Tapi tenyata saya SALAH BESAR!!. 

Konten TikTok memang kadang garing, sering juga lucu, sedikit provokatif secara seksual, tapi yang pasti, adiktif.  

Pertumbuhan platform social media dari startup Bytedance asal China ini, pada akhirnya mematahkan pandangan sebelah mata banyak orang, yang kita bisa lihat dari beberapa facts soal TikTok sepanjang 2019 dibawah ini. 

  1. TikTok adalah social media terpopuler kedua di dunia, dengan jumlah download melebihi 700 juta kali, hanya kalah dari Whatsapp, dan sudah melewati Facebook messenger bahkan Instagram. (data – Sensor Tower 2019)
  2. TikTok juga social media dengan growth tercepat di dunia, sudah di download sebanyak 1,5 miliar kali sejak pertama berdiri tahun 2017, dengan pengguna aktif setiap bulannya melebihi 500 juta orang.
  3. TikTok bukan cuma milik alay dan masyarakat ekonomi bawah. Data menunjukkan bahwa TikTok jadi apps terbanyak di download di Apple Store, sebanyak 33 juta kali sepanjang 2019. Di Indonesia, selebriti yang tergolong niche seperti Luna Maya, Agnez Mo, Imam Darto dan Jelfi Blezynski malah sekarang beralih jadi kreator TikTok.
  4. Segmentasi pengguna TikTok bergeser ke audiens yang lebih dewasa. Di AS, awalnya TikTok cuma dipakai oleh 2,7 juta orang dewasa disana. Angka ini naik hampir 3x lipat setahun kemudian, dan sekarang sudah ada 14,3 juta pengguna TikTok dewasa di AS, meroket 5 kali lipat dalam waktu kurang dari 5 tahun. Dari banyaknya video goyang blender yang ada, kita juga bisa lihat banyaknya pegawai kantoran sampai ASN yang membuat video TikTok.
  5. Sebentar lagi TikTok menyusul Instagram. Bukan cuma popularitasnya yang mewabah, rata-rata waktu menggunakan aplikasi TikTok sudah mencapai 53 menit per hari. Ini setara dengan Instagram, lebih tinggi dari Snapchat (49 menit) dan cuma kalah dari Facebook (58 menit per hari).

Melesatnya TikTok dalam 3 tahun terakhir ini harusnya jadi insight yang menarik bagi para marketers dan PR di Indonesia, untuk mencari cara berkomunikasi yang efektif kepada generasi millenial. Mereka yang takut akan ketinggalan, alias Fear Of Missing Out (FOMO), mereka yang ingin dilihat dan didengar, dan mereka yang sangat gadget savvy.

Apalagi, sihir TikTok sudah merambah pasar yang baru, generasi yang baru dengan karakteristik yang beda dengan generasi millenial. Seharusnya lebih niche, tapi toh nggak bisa lepas dari Goyang Ubur-uburnya TikTok.

Kembali ke pertanyaan awal, apa yang bisa kita pelajari dari kudeta ala TikTok ini? The way I see it, pengguna internet berubah dengan cepat. Most people, bukan cuma millenial akan sulit untuk nggak FOMO. Suka nggak suka, kita harus beradaptasi dengan cara baru berkomunikasi ala kreator dan penonton TikTok.

Kedua, nobody safe, even the King. Saat kita lagi memimpin diatas, never stop innovating. Read the market, then adjust. Jadi market leader artinya banyak kesempatan & sumber daya untuk create inovasi baru, improvement baru. Yang di improve bukan cuma yang dulu gagal, tapi juga yang dulu berhasil. Ini yang namanya filosofi Kaizen asal Jepang, yang sederhananya adalah constant improvement. Di Media Buffet misalnya, kami selalu coba cari room for improvement, walau godaan untuk bertahan dengan winning formula sangat susah untuk ditolak.

Ketiga, people movement adalah potensi pasar yang besar walaupun awalnya tidak akan mudah. Beberapa gerakan people movement sudah sukses mengubah awareness jadi behavior change. Apakah para PR dan marketers akan nyaman dengan cara yang itu-itu saja, atau mau get dirty to explore something new?

Keempat, jangan terlalu fokus pada “the BIG boys” saja, apalagi karena nama besarnya. Kuda hitam dengan underdog mentality- nya bisa lebih diandalkan ketimbang pemain dengan nama besar.

Any opinion soal melejitnya TikTok? Any lesson to learn? You’re welcome untuk cerita di kolom komentar.

Share with

Tinggalkan Balasan

Popular Post
Arsip
id_ID