“Mayday, Mayday, Mayday… Garuda Indonesia dalam kondisi darurat!”

Bukan karena kecelakaan penerbangan, melainkan sebuah “kecelakaan” komunikasi yang dilakukan Garuda Indonesia pada 13 Juli 2019. Sempat viral soal kasus makanan cepat saji Jepang di kelas bisnis, Garuda Indonesia kini jadi perbincangan netizen untuk kasus “baru” lagi.

Berawal dari unggahan seorang vlogger Indonesia bernama Rius Vernandes, soal menu makanan kelas bisnis yang ditulis tangan di secarik kertas, Garuda Indonesia malah mengundang kontroversi lewat imbauan larangan mengambil foto dalam pesawat yang beredar di media sosial. Lantas, kejadian ini pun menuai protes keras netizen yang merasa kebebasannya sebagai konsumen dirampas.

Celakanya lagi, alih-alih berusaha meredam isu yang beredar, Garuda Indonesia justru mengambil langkah gegabah melaporkan Rius Vernandes ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik melalui serikat karyawan. Ibarat menyiram bensin dalam api, kejadian ini makin menyulut amarah netizen dan sukses membuat Garuda Indonesia menghiasi trending topic #1 Twitter.

Saya tidak bisa membayangkan rasanya jadi tim humas Garuda Indonesia. Bagaimana deg-deg ser mereka memantau tonality dari laporan media monitoring dan social media listening sejak kejadian itu. Bahkan dalam situasi ini, mungkin mereka tidak bisa tidur. Apalagi mengingat “rival” mereka bukan rakyat jelata, melainkan vlogger dengan basis followers Instagram lebih dari 105.000.

Jika tidak segera dibendung, isu ini akan bergulir seperti efek bola salju. Semakin besar jangkauan isunya semakin sulit untuk Garuda Indonesia atasi dampak “damage” krisisnya.

Apalagi sudah banyak brand yang ikut memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan engagement dengan audiens lewat konten yang menggelitik. Riding this issue in a brilliant way seperti yang dilakukan Grab, SangPisang, dan beberapa lainnya. Yang justru memperkeruh keadaan bagi Garuda Indonesia.

Sebagai konsultan kehumasan, saya “kepo” melihat bagaimana Garuda Indonesia menangani kasus ini. Apakah mereka bisa menerapkan manajemen krisis dan komunikasi krisis yang efektif? Apa mereka punya cara komunikasi kreatif diluar dari standar baku penanganan situasi krisis yang biasa dilakukan perusahaan?

Sejauh yang bisa saya pantau, saya baru menemukan beberapa pernyataan VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, M Ikhsan Rosan, yang terkesan terlalu defensif. Ikhsan berkilah imbauan larangan tersebut merupakan edaran internal perusahaan yang belum final tetapi bocor ke publik.

Tanggapan yang dikeluarkan tidak berhasil membuat publik puas. Kekecewaan yang satu belum tertangani, malah muncul kekecewaan lain. Judulnya, tidak puas kuadrat.

Sebenarnya ada dua strategi yang harus segera dijalankan Garuda Indonesia. Pertama, tangani keluhan publik dan hadapi krisis. Kedua, lakukan Public Relations recovery of image untuk memperbaiki lost of image and damage.

Jika mengidentifikasi penyebab terjadinya krisis, ini terjadi karena layanan yang kurang sempurna. Kemudian berkembang menjadi krisis karena persepsi publik akibat Garuda Indonesia mengambil langkah yang sangat bertentangan dengan keinginan publik; lewat imbauan larangan foto dan laporan polisi.

Ngeri-ngeri sedap kalau jadi tim humas Garuda Indonesia, karena krisis ini sudah masuk ke dalam tahapan krisis kategori akut. Bila tidak segera ditangani akan menimbulkan banyak pemberitaan negatif, dan berujung imbas buruk pada bisnis perusahaan.

Seharusnya pihak Garuda Indonesia tidak boleh lagi berdiam diri dan wajib mengeluarkan pernyataan yang melegakan publik. This time, a silence is no longer a golden but a killer.

Tim humas Garuda Indonesia harus mengemas narasi yang kuat untuk menanggapi beberapa keluhan publik diantaranya; 1)layanan makanan, 2)Laporan polisi Rius Vernandes, 3)Himbauan dilarang mengambil foto dalam pesawat.

Terkait layanan makanan, Garuda Indonesia dengan rendah hati harus mau mengakui bahwa layanan makanan mereka kurang memuaskan, meminta maaf, dan menyajikan solusi perbaikan. Ini akan mengendalikan ekspektasi publik, bahwa Garuda Indonesia sedang berupaya memperbaiki diri.

Lalu, mengenai laporan polisi Rius Vernandes, Garuda Indonesia perlu menyampaikan kepada publik bahwa Garuda Indonesia menyerahkan sepenuhnya kepada serikat karyawan sebagai pelapor dan polisi untuk melanjutkan investigasi penanganan kasus ini. Selipkan sedikit narasi untuk mengajak publik melihat isu ini dari dua sisi (cover both side) dan menggunakan asas praduga tak bersalah.

Mengenai imbauan larangan foto, Garuda Indonesia tidak perlu memberikan penjelasan gamblang. Lakukan persuasi secara halus agar dapat diterima dengan baik oleh netizen. Sehingga, dapat menciptakan kedekatan emosional antara perusahaan dan publik.

Contohnya, mainkan narasi nasionalisme. Ajak publik untuk berpikir bahwa Garuda Indonesia adalah elemen penting bagi Indonesia, wajah Indonesia di industri penerbangan dunia. Sehingga, citranya perlu dijaga bersama-sama.

Dengan narasi ini, publik merasa mendapat porsi tanggung jawab untuk turut menjaga citra Garuda Indonesia dan tidak melanjutkan perbincangan negatif di media sosial. Sampai disini semoga paham apa yang saya maksud. Setelah Garuda Indonesia berhasil menangani keluhan publik, selanjutny dapat menjalankan strategi Public Relations recovery of image. Saya kepikiran dua ide; yang umum atau yang nekat.

Kalau yang umum, Garuda Indonesia harus meraih brand advocacy dari influencers lain yang level of influence-nya sama atau lebih dari Rius Vernandes. Misalnya, Direktur Utama Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, akan mengundang mereka dalam sesi diskusi #InFlightTalks. Diskusi diadakan di atas penerbangan kelas bisnis. sambil membahas isu seputar perbaikan layanan penerbangan Garuda Indonesia. Konten akan dikemas dalam bentuk video, dan diunggah ke channel Youtube Garuda Indonesia dan influencers.

Pesan utamanya: Garuda Indonesia ingin memahami concern publik dan menunjukan komitmen tinggi dalam memperbaiki kualitas layanan dalam waktu dekat. Kalau mau ide lebih gila lagi, Garuda Indonesia bisa menggunakan strategi “twisted scenario”. Merubah musibah menjadi sebuah berkah, hampir mirip dengan strategi marketing “content misdirection” seperti yang dilakukan Bukalapak lewat iklan Sumpah Pemuda salah tanggal. Iklan ini memancing perhatian publik sekaligus “menguji” ingatan mereka tentang tanggal Sumpah Pemuda.

Sama-sama membuat publik menganggap ada unsur “kesengajaan”. Bedanya, kalau content misdirection dari awal memang sengaja dibuat salah, sedangkan ini memang mengubah kesalahan menjadi peluang untuk pamer perbaikan. Garuda Indonesia bisa memanfaatkan momen ini menjadi sebuah titik balik transformasi layanan makanan kelas bisnis Garuda Indonesia. Agar membuat krisis ini seolah memang dirancang, syaratnya Garuda Indonesia perlu menghadirkan unsur “WOW” yang membuat publik berdecak kagum atas ide gila marketing tersebut.

Misalnya, meluncurkan buku menu dengan desain khusus sampul batik yang sudah langka seperti batik tulis Banyuwangi. Atau meluncurkan menu baru masakan khas Indonesia yang belum pernah ada di layanan makanan sebelumnya. Undang influencer dan media hadir di peluncuran yang diadakan di atas penerbangan. Sehingga, krisis ini akan menyisakan kesan positif di mata publik.

Kira-kira begitu strategi andai-andai dari saya kali ini. Semoga tulisan pertama saya ini dapat memberikan sudut pandang tambahan untuk rekan-rekan kehumasan dan jurnalis. Kalau boleh, saya ingin mendengar pendapat rekan-rekan dan berbagi ide terkait manajemen krisis dan komunikasi krisis yang menarik untuk kasus Garuda Indonesia ini.

Share with

Tinggalkan Balasan

Popular Post
Arsip
id_ID