canva

Belajar dari Blunder Canva – Studi Kasus Crisis Public Relations

Nama Canva pasti sudah nggak asing lagi di kuping kita. Startup penyedia software desain grafis dari Australia ini, berhasil memanen 15 juta pengguna dari 190 negara di seluruh dunia.

Banyaknya pengguna Canva yang mungkin sudah lebih dari satu tahun setia pada platform ini (seperti saya), meninggalkan tanggung jawab yang besar bagi Canva itu sendiri, berkomunikasi tanpa cacat pada seluruh stakeholders-nya.

Unfortunately, bagi sebagian besar perusahaan teknologi yang baru lahir dalam 10 tahun belakangan, berkomunikasi, apalagi secara flawlessly, bukanlah sesuatu yang mereka benar-benar pahami.

Kronologi Krisis

Kepada 15 juta penggunanya di 190 negara (termasuk saya), akhir Mei 2019 lalu Canva coba memberitahu bahwa sistem mereka kecolongan dan ada sebagian data pengguna Canva yang dicuri oleh sang hacker dengan nama panggung “GnosticPlayes”. Mereka mengklaim, dari membobol database Canva sang hacker berhasil mencuri 139 juta data termasuk diantaranya user name, password, email, nama asli bahkan alamat dan kota tempat tinggal.

Sounds crucial, right??

Apa yang dilakukan Canva untuk mengingatkan (atau tidak mengingatkan) jutaan penggunanya akan bahaya hacker ini?

Mereka mem-blast email dengan subject “Your Canva Account”, dengan kalimat pertama dalam body emailnya malah memberitahu tentang akuisisi Pexels dan Pixabay yang akhirnya membawa experience baru pagi pengguna Canva.

Sebuah pesan pembuka yang ternyata bagi banyak penggunanya, tidak memperlihatkan sense of urgency.

Baru pada paragraf berikutnya, Canva memberitahu bahwa ada insiden keamanan yang sedang ditangani oleh FBI, dalam bentuk pencurian data pengguna mereka, termasuk email dan password.

Dan baru di paragraf penutup, Canva meminta penggunanya untuk mengganti username dan password, untuk mengantisipasi insiden ini.

Bentuk so-called peringatan dalam bentuk email marketing ini, ternyata tidak dicerna oleh banyak pengguna Canva sebagai sebuah bentuk peringatan. Sebagian pengguna Canva marah karena alasan:

1. Diselipkan dalam sebuah email marketing, yang biasanya memberitahu soal promo/fitur terbaru

2. Judul yang “kelewat selow” untuk sebuah insiden penting

3. Peringatan sesungguhnya yang baru masuk di paragraf kedua

Kemarahan banyak pengguna Canva sangat masuk akal. Lagipula, siapa pula yang sempat baca email marketing sampai di paragraf ke 2,3 apalagi sampai penutup, iya kan? Kalau subject nya gak penting-penting amat, kita semua kebanyakan men-skip email marketing ini di inbox.

Balik ke cara Canva memberitahu bahwa lagi ada keadaan gawat darurat. Dalam ilmu komunikasi, ada teknik penulisan yang biasa dipakai untuk menulis berita hard-news, atau peristiwa penting yang aktual dan publik menuntut informasi sampai ke mereka secepat mungkin, yaitu teknik “Piramida Terbalik”.

Dalam teknik piramida terbalik, fakta yang paling penting dijabarkan di paragraf atas, straight forward, tanpa basa basi kanan kiri. Sehingga saat membaca paragraf pertama, pembaca sudah tahu urgensi dari tulisan ini dan kenapa mereka harus lanjut membaca paragraf berikutnya. Dan yes, judul juga harus terlihat paling penting karena letaknya di struktur paling atas dari tulisan.

Kalau melihat struktur tulisan Canva, informasi terpenting dalam bentuk call to action agar pengguna Canva mengganti username dan password, malah ada di paragraf paling bawah. Sementara informasi paling tidak penting dan tidak relevan (dari insiden ini) soal akuisisi dan experience baru, malah ditaruh di paragraf pertama. Belum lagi dengan judul “Your Canva Account” yang sama sekali tidak mewakili kondisi gawat darurat, dan membuat pembaca email akan menganggapnya sebagai angin lalu.

What We Learn from Canva Crisis

Saya sudah sering (pakai banget) mengingatkan para startup dan perusahaan teknologi untuk lebih berhati-hati, teliti, strategis dan peka dalam berkomunikasi ke publik, baik internal apalagi eksternal.

Blunder Canva memberitahu kita bahwa menulis sebuah pesan, apalagi dalam kondisi krisis, tidak bisa “business as usual”. Para startup dan perusahaan teknologi harus paham, manusia bukanlah mesin yang menerima dan mengolah pesan (decoding) dan pasti mengartikan pesan itu 100 persen sama dengan pesan sebenarnya yang coba disampaikan (encoding) oleh si pengirim.

Kalau anda termasuk salah satu pendiri atau karyawan startup, sukses perusahaan mu bukan ditentukan oleh seberapa besar pencapaian selama ini. Tapi oleh seberapa banyak stakeholders anda mempersepsikan bahwa startupmu adalah startup yang sukses, walaupun kenyataannya lebih pahit dari yang terlihat.

Siapkan strategi komunikasi ketika insiden darurat tiba-tiba muncul, siapa yang harus merumuskan pesan, apa pesannya dan bagaimana menyampaikan pesan yang bisa paling diterima oleh publik. Sama halnya dengan menyiapkan strategi komunikasi untuk mengumumkan hal-hal penting seperti kerjasama B2B, CSR perusahaan, atau growth perusahaan yang luar biasa kinclong. 

Lebih baik jadi perusahaan buram yang terlihat kinclong daripada jadi perusahaan kinclong tapi sebenarnya terlihat buram.

Sejarah membuktikan, perusahaan (atau tokoh politik) yang sebenarnya buram tapi terlihat kinclong, lebih panjang umur, lebih sehat walafiat, malah bisa lebih sukses.

Karena semua tentang bagaimana persepsi publik, seperti kata Chamfort;

Public opinion is the worst of all opinions

Share with
Popular Post
Archives
en_US