bukalapak

Kalau Saya Jadi Bukalapak (Di Tengah Hujatan Netizen)

Satu lagi raksasa teknologi Indonesia kebagian krisis, yaitu Bukalapak. Saya yakin sebagian besar dari kita yang sering berpetualang di media sosial dan membaca berita online, sudah tahu bagaimana tweet CEO Bukalapak, Achmad Zaky, memicu amarah netizen dan bad publication dari media di Indonesia.

Kronologi Krisis Bukalapak

“CEO Bukalapak Ngaku Khilaf, Pastikan Cuitan Tak Terkait Pilpres” begitu bunyi headline di Detik.com beberapa menit yang lalu. Sementara persepsi pedas dan kejam dari netizen terus mengalir deras di hari kedua krisis Bukalapak. Dalam waktu 48 jam setelah tweet Achmad Zaky tentang “Omong kosong dana R&D” dan kata “presiden baru” yang membakar amarah banyak pihak, sudah ada sekitar 180 artikel yang berisi #uninstallbukalapak, belum termasuk dari berita TV atau cetak.

Komentar netizen, seperti biasa lima kali lebih pedas dari pemberitaan media. Di Twitter, jumlah komentar dengan #uninstallbukalapak sudah menuju 70,000 tweet, dengan 80-90 persen berisi persepsi negatif ke Achmad Zaky yang meluas menjadi persepsi negatif ke aplikasi Bukalapak itu sendiri.

“LAPORKAN BUKALAPAK DI PLAYSTORE.. NANTI JUGA DI TUTUP GOOGLE.. 1. CARI BUKALAPAK DI PLAYSTORE 2. KLIK TITIK 3 KANAN ATAS 3. KLIK TANDAI SEBAGAI TIDAK PANTAS 4. KLIK …” bunyi komentar @Sri Purbahayu Salserosa di Facebook wallnya.

Dan ajakan uninstall ini bukan sekadar basa basi. Di apple store (yang demografi penggunanya lebih punya daya beli dan “seharusnya” lebih well educated), rating Bukalapak sudah turun dari 4,4 ke 4,3 dengan lebih dari seratus review bintang 1 dalam 48 jam terakhir. Yang fatal dari krisis Bukalapak ini bukan soal persepsi netizen atau pemberitaan negatifnya.

Melihat dari krisis yang sudah mampir ke Tokopedia dan Traveloka, serbuan hujatan akan reda dalam waktu antara 4-7 hari kedepan. Media akan punya agenda lain, dan netizen akan punya isu lain untuk dikomentari jari jemari mereka.

Tapi yang perlu diwaspadai adalah the invisible long term effect yang sebelumnya pernah terjadi dengan Uber dan Grab.

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, kegagalan pendiri Uber Travis Kalanick meredam persepsi negatif tentang kultur maskulin dan pelecehan seksual di kantor Uber, berujung pada ia “dipecat” oleh para pemegang sahamnya. Sementara pada Grab, keangkuhan Grab dalam menyampaikan pesan merespons demo tahun 2016, berujung pada banyaknya mitra Grab yang membangun reputasi Grab sebagai perusahaan yang menganiaya para mitranya, bahkan sampai setahun setelah krisis terjadi. 

Rumus Meredam Netizen

Dalam dunia public relations, atau corporate communications kalau kita ada di posisi Bukalapak, krisis yang terjadi di media sosial bukan barang baru, tapi juga bukan sesuatu yang sudah dipahami dan ada obatnya. Crisis management protocol yang dibuat oleh beberapa suhu PR sejak lama, lebih berfokus pada meredam pemberitaan negatif media dan kegelisahan stakeholders, misalnya pemegang saham, karyawan, rekan bisnis, konsumen, pemerintah dan komunitas terkait.

Tapi rumus untuk meredam amarah netizen, belum ada di jagad per-PR an ini. Pagi ini, saya coba challenge tim di Media Buffet untuk brainstorming, apa kira-kira yang bisa kita lakukan kalau ada di posisi Bukalapak. Ada beberapa ide yang muncul (tentunya setelah melakukan protokol seperti identifikasi masalah, mendengarkan keresahan stakeholders, membentuk tim krisis), misalnya:

1) Konsolidasi ke internal via townhall meeting. Disini AZ harus meluruskan maksud tweetnya di hadapan seluruh karyawan Bukalapak. Tujuannya agar menyamakan persepsi, dan tidak ada karyawan yang menambah “bahan bakar negatif” dengan membocorkan email (seperti pada Tokopedia) atau membocorkan suara-suara sumbang keluar.

2) Setelah Bukalapak tahu tweet minta maaf AZ tidak efektif, mereka atau siapapun agensi yang menanganinya saat ini, bisa coba untuk sowan ke lingkaran terdekat presiden Jokowi, dengan niatan yang sama; meluruskan persepsi. Datangi tokoh-tokoh PDIP atau tim kampanye Jokowi, tunjukkan bahwa Bukalapak benar-benar serius meminta maaf dan meluruskan persepsi. Ini penting karena saat anda membaca tulisan ini, media sedang mengejar statement dari kubu Jokowi, meminta tanggapannya akan tweet AZ.Ketika tokoh kunci di kubu Jokowi belum merasa disowan secara pantas, besar kemungkinan mereka akan mengeluarkan statement offensif yang akan menambah panjang siklus pemberitaan negatif dari Bukalapak.

3) Sowan ke tokoh penting kubu Jokowi akan membuka jalan menuju sowan, meluruskan persepsi dan meminta maaf kepada Jokowi. Kenapa AZ perlu meminta maaf pada beliau? Karena masyarakat Indonesia akan lebih mudah tersentuh dengan permintaan maaf dan aksi yang tulus. Percuma AZ meminta maaf pada para Jokower yang ada diluar sana lewat tweet-nya. Karena bahasa dalam bentuk teks, tidak terdengar tulus bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tapi hal ini tidak gampang dan butuh waktu untuk meminta waktu dengan presiden RI.

4) Kalau karena banyak sebab langkah no.3 tidak bisa terpenuhi, ada beberapa jalan lainnya. AZ dan Bukalapak bisa membuat sebuah video singkat permintaan maaf dan meluruskan maksud kepada presiden Jokowi atas keresahan yang sudah dibuat. Kenapa video? Karena gestur, intonasi dan mimik muka yang menunjukkan ketulusan akan lebih mudah terlihat. Video ini tidak akan seratus persen efektif, tapi akan lebih efektif lebih dari sekedar tweet. Video juga medium yang gampang untuk disebarkan ke berbagai macam shareholders Bukalapak, mulai dari karyawan, mitra pedagang Bukalapak di penjuru Indonesia, sampai pemegang saham di Emtek.

5) Cara nyeleneh yang bisa ditempuh Bukalapak adalah dengan men-twist tweet dari AZ, menjadi sesuatu yang positif. Ini pernah dilakukan Bukalapak sebelumnya pada peringatan hari Sumpah Pemuda. Memang tidak akan semudah itu karena AZ sudah menyentuh satu dari dua isu paling sensitif di Indonesia, yaitu politik (yang kedua adalah agama). Ini cocok dengan reputasi Bukalapak yang selama ini dibangun lewat konten mereka, nyeleneh dan kreatif. Kalau Bukalapak menempuh jalan ini, syaratnya cara nomor 4 diatas tidak boleh dilakukan lebih dulu.

Tidak ada cara yang seratus persen akan berhasil dan mulus buat Bukalapak dan Achmad Zaky, tapi sekali lagi, if I were in their shoes, this is what I would do.

Yang terpenting lagi, setelah kejadian ini, tim dan agensi PR bukalapak harus mem-filter semua konten yang keluar dari petingginya, kata per kata. Thought leadership yang selama ini dilakukan AZ adalah hal yang superb dan selalu saya sarankan ke klien karena efektif membangun reputasi AZ itu sendiri sebagai key opinion leaders di ekonomi digital, dan otomatis menggendong reputasi Bukalapak di belakangnya.

Tapi thought leadership lewat media sosial juga membawa banyak risiko kalau nggak dilakukan dengan terstruktur. Misalnya tulisan saya ini, yang saya duga akan di duplikasi (penuh atau sebagian) oleh siapapun agensi yang sedang menangani krisis di Bukalapak saat ini.

Bagaimanapun, sebagai orang yang jadi saksi tumbuhnya Bukalapak sejak kecil, teman dari Zaky dan istri, Evi dan tim PR Bukalapak, tulisan ini adalah saran gratis dari seorang teman sejak 2014 lalu.

Selamat berjuang, Bukalapak !

Share with

Leave a Reply

Popular Post
Archives
en_US