Kalau kalian perhatikan, salah satu startup yang punya konsep digital marketing menarik dan cepet viral di masyarakat tuh adalah Gojek. Inget gak pas Ibu Siska tiba-tiba mendadak pengen berhenti dari dunia masak-memasak Indonesia (bagi yang gak tau siapa Ibu Siska, fix kalian belum tua). Banyak yang mengira itu beneran terjadi dan sempat jadi trending. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah ide kreatif Gojek buat promosiin Gofood.
Ada lagi nih bulan September lalu, dimana Ariel Noah membintangi iklan Gojek untuk salah satu produk andalannya, Gosend dengan mengubah lirik lagu “Separuh Aku” menjadi “Sepatuh Aku” saat menunggu kiriman paket sepatu yang tak kunjung datang. Sontak iklan ini berhasil menghibur netijen dengan kegaringan dan copywritingnya yang ciamik.
Masih dari iklan perusahaan yang dipimpin oleh Kevin Aluwi untuk produk Gosend. Nah kali ini bukan lirik lagu yang diubah, tapi logo dari sebuah media besar di Indonesia yang sudah berdiri sekian puluh tahun. Yap, Gosend memparodikan logo media tersebut yang berujung viral, permintaan maaf dan akhirnya campaign tersebut dihapus. Baca artikel ini lebih lanjut ya karena Media Buffet PR akan bedah kasus ini dengan dari perspektif komunikasi.
Daftar Isi:
Niat Jadi Unik, Malah Jadi Polemik
Kasus ini bermula dari salah satu iklan yang dibuat Gojek untuk layanan GoSend. Decacorn tersebut membuat konten promo dengan mengubah nama Koran Kompas menjadi “Somplak”.
“Warga Surabaya Terkejut, Kirim Paket Apapun Bisa Sampe Dalam Sehari,” tulis Gojek yang diposting di Instagram GoSend Indonesia.
Strategi digital marketing yang diusung sebenarnya cukup menarik, mengingat Gojek sebagai brand startup teknologi kekinian, “menempeli” brand besar sekelas Kompas yang sudah berdiri puluhan tahun. Oleh karena itu, pesan yang ingin disampaikan bisa menjangkau audiens lintas generasi karena dua brand tersebut mewakili market yang berbeda; audiens Gojek yang mana merupakan gen Z dan Alpha sedangkan audiens Kompas lebih mature yang berada di Gen X dan Millenial.
Sayangnya, konsep konten tersebut jadi polemik dan langsung menuai protes. Salah satunya dari salah seorang wartawan Kompas, Angger Putranto. Lewat Twitter, Angger memprotes mengapa perusahaan yang tergabung GoTo Group tersebut membuat konten promo yang tidak etis.
Bagaimana Gojek dan Kompas Menyikapi Hal Ini?
Ternyata, tak butuh lama bagi Gosend untuk bertindak pasca viralnya konten promo nyeleneh tersebut. Berbeda dengan brand lain yang hanya bermodalkan permintaan maaf lewat unggahan di media sosial dan menunggu selang beberapa hari, justru perusahaan karya anak bangsa ini gercep alias gerak cepat menujukkan itikad baiknya dengan sowan langsung ke redaksi Kompas sekaligus bersilaturahmi. Di saat yang sama pula mereka mengumumkan permintaan maaf di akun Instagram Gosend.
Decacorn ini tak segan untuk mohon maaf secara personal dan tertulis. Buntut dari insiden tersebut, konten promo dengan visual logo Kompas pun sudah dihapuskan dari laman Instagram Gosend. Kompas, selaku brand besar yang melegenda, menerima permintaan maaf tersebut dan tidak memperpanjang kasus plesetan visual yang dinilai menyinggung dan tidak memenuhi kaidah etika media.
Apa Yang Bisa Kita Pelajari Dari Kasus Ini?
Dengan adanya insiden ini membuktikan bahwa perusahaan besar seperti Gojek (dengan produknya Gosend) dan Kompas sangat dewasa dan bijak dalam menyelesaikan kasus yang cukup menuai kritik di media sosial. Masing-masing perusahaan dapat mengimplementasi secara konkret karakteristik perusahaan.
Gojek, sebagai perusahaan startup teknologi lekat dengan kreativitas tanpa batas, fast-paced, agile, semua itu tercermin dalam sikap mereka yang cepat tanggap dan langsung saat itu juga menyambangi Kompas untuk bersilaturahmi. Setali tiga uang dengan Kompas, perusahaan legenda sejak jaman Ir. Soekarno menujukkan wisdomnya dan tidak memperkeruh suasana. Padahal, bisa saja Kompas melayangkan gugatan perkara copyright atau hak cipta yang telah diplesetkan dengan konotasi yang negatif, tapi itu tidak dilakukan oleh surat kabar nasional yang sudah berdiri sejak 1965.
Alangkah baiknya, karakteristik yang dimiliki Gojek dapat kita amplikasikan dan implementasikan, terlebih jika kita berada di industri yang serba dinamis dan serba cepat seperti Digital atau Public Relations Agency. Agar insiden seperti Gosend dan Kompas tidak terjadi lagi, diperlukan riset yang mendalam mengenai behaviour dan psikografis masing-masing target audiens, apalagi jika campaign tersebut sudah lintas generasi.