Banyak orang terkejut ketika mengetahui bahwa saya tidak menggunakan WhatsApp. Keterkejutan tersebut memang beralasan karena WhatsApp menjadi instant messenger terfavorit di Indonesia. Survei Mobile Instant Messaging 2017 yang dilakukan oleh Daily Social pada 1.022 responden menunjukkan bahwa 97.24% responden mengaku pernah menggunakan WhatsApp dan 61,81% responden mengatakan bahwa WhatsApp adalah aplikasi yang paling sering mereka gunakan. Hingga Januari 2017, terdapat 35,8 juta pengguna WhatsApp di Indonesia.
Sementara di tingkat global, WhatsApp juga menjadi instant messaging terpopuler dengan lebih dari 1,5 miliar pengguna, mengalahkan Facebook Messenger, WeChat, Line dan Telegram. Walaupun lebih suka menggunakan Line sebagai aplikasi chatting sehari-hari, pada akhirnya saya terpaksa harus meng-install WhatsApp karena tuntutan pekerjaan. Pertama kali diperkenalkan pada 2009 oleh Brian Acton dan Jan Koum, WhatsApp menjadi aplikasi yang revolusioner. Kedua mantan pegawai Yahoo! tersebut mewujudkan platform di mana pesan teks, multimedia hingga voice & video calling dapat dilakukan secara gratis. Satu di antara keunggulan WhatsApp yang membuatnya semakin digemari adalah ketiadaan iklan yang menganggu. Pada artikel tertanggal Juni 2012 berjudul “Why We Don’t Sell Ads” yang terarsip di blog resmi WhatsApp, kedua pendiri berkomitmen untuk tidak memperjualbelikan data pribadi penggunanya kepada para pengiklan. WhatsApp menerapkan metode end-to-end encryption sebagai bentuk komitmen atas privasi dan keamanan digital pengguna.
“At WhatsApp, our engineers spend all their time fixing bugs, adding new features and ironing out all the little intricacies in our task of bringing rich, affordable, reliable messaging to every phone in the world. That’s our product and that’s our passion. Your data isn’t even in the picture. We are simply not interested in any of it.” – Jan Koum
A Turning Point for Whatsapp
WhatsApp mengalami pergantian bentuk bisnis yang signifikan setelah diakuisisi senilai $22 miliar oleh Facebook pada Februari 2014. Dengan basis pengguna yang luar biasa masif dan loyal, Facebook berambisi untuk memonetasi WhatsApp. Langkah serius Facebook ditandai dengan diluncurkannya WhatsApp Business API yang menyasar para pemilik bisnis skala menengah dan besar. Layanan ini dapat digunakan untuk memberikan customer service secara real-time kepada para customer. Biaya yang harus dibayarkan oleh pemilik bisnis adalah sekitar setengah sampai dengan sembilan sen untuk setiap pesan. Biaya tersebut dapat berbeda-beda di setiap negara.
Saat ini, ada seratus perusahaan yang telah mencoba fitur customer service ini, di antaranya adalah Singapore Airlines dan Uber. Sementara dari Indonesia, terdapat Bank BRI dan Sale Stock yang telah menggunakan WhatsApp Business API. Bank BRI menguji coba chatbot yang dijuluki SaBRIna (Smart BRI New Assistant) sejak April 2018 lalu. Selain melayani aduan customer lewat WhatsApp, customer juga dapat memperoleh informasi produk BRI, peta lokasi kantor cabang dan ATM, hingga lokasi terdekat untuk top up Brizzi. Layanan customer service 24 jam seperti chatbot SaBRIna ini dinilai lebih efisien untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana, jika dibandingkan dengan telepon atau email.
Strategi monetisasi yang baru diumumkan WhatsApp adalah menyelipkan iklan pada Status. Fitur yang mirip dengan Snapchat atau Instagram Stories ini memungkinkan pengguna membagi foto, video, atau teks yang akan hilang secara otomatis 24 jam kemudian. Vice President WhatsApp Chris Daniels mengumumkan bahwa iklan Status ini akan menjadi sumber monetasi utama bagi perusahaannya. WhatsApp sedang mengujicobakan iklan pada Status secara terbatas melalui Whatsapp beta versi 2.18.305 di Android. Para pengguna Whatsapp diperkirakan akan segera melihat kehadiran iklan-iklan Status pada 2019 mendatang.
Look Up to Instagram
Metode monetasi WhatsApp sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Iklan pada fitur Status juga merupakan metode monetasi serupa yang sudah diterapkan oleh Instagram pada fitur Stories. Iklan Stories dapat ditargetkan untuk meningkatkan reach, brand awareness, traffic, video views, app installs, conversions dan lead generation. Dilengkapi dengan fitur Swipe Up yang tersambung dengan hyperlink, pengguna dapat diantarkan menuju halaman promosi secara langsung. Video pendek di bawah lima belas detik menjadi format stories favorit karena keefektifannya mencapai sembilan kali kunjungan post-click website daripada hanya memuat gambar statis. Survei yang dilakukan oleh Instagram menemukan bahwa 52% pengguna Instagram di Indonesia mengaku bahwa mereka lebih tertarik untuk pada suatu brand atau produk setelah menyaksikannya di Instagram stories.
Walaupun demikian, COO Facebook Sheryl Sandberg menyebutkan bahwa pengguna fitur Status pada WhatsApp dapat mencapai lebih dari 450 juta pengguna tiap hari, melampaui pengguna harian Instagram Stories.
Selain itu, Instagram juga baru saja meluncurkan fitur shopping pada September 2018 di empat puluh enam negara. Fitur ini ditujukan untuk mempermudah pembelian produk yang ditampilkan oleh brand atau influencer. Pengguna dapat mengetuk (tap) sejumlah produk yang ditampilkan pada kiriman Feed atau Stories untuk mengetahui nama dan harga produk yang ditawarkan. Dilengkapi dengan tautan menuju halaman pembelian, pengguna bisa mendapatkan produk tersebut dalam waktu yang singkat. Kini Instagram juga tengah mengujicobakan fitur shopping pada halaman Explore.
WhatsApp dan Instagram memiliki pengguna yang masih terus berkembang, di saat Facebook, Twitter dan Snapchat dilaporkan menghadapi pertumbuhan pengguna yang melambat atau bahkan berkurang selama tiga bulan terakhir. Melambatnya pertumbuhan pengguna secara signifikan pada sejumlah platform media sosial ini disebut dengan fenomena “Peak Social”. Dapat dikatakan jika WhatsApp memiliki potensi yang besar untuk bersaing dengan Instagram. Walapun demikian, WhatsApp mungkin perlu berkaca pada berbagai strategi monetasi yang telah diterapkan oleh Instagram, jika memang mereka berniat serius untuk menggarap monetisasi.
What It Costs
Perubahan strategi bisnis WhatsApp ternyata tidak sepenuhnya berjalan mulus. Dua pendiri WhatsApp mundur karena tidak setuju dengan keputusan Facebook untuk memonetasi WhatsApp.
Brian Acton mengundurkan diri pada September 2017 dengan alasan “to start a new foundation”, seperti yang ia umumkan di akun Facebook-nya. Setahun kemudian, Forbes meluncurkan hasil wawancara eksklusif dengan Brian Acton mengenai alasan utamanya meninggalkan WhatsApp. Ia mengaku mendapat tekanan yang besar dari Mark Zuckerberg and Sheryl Sandberg untuk memonetasi WhatsApp. Mereka mempertanyakan metode enkripsi WhatsApp untuk memulai iklan dan perpesanan komersial. Kekesalan Acton pada Facebook nampak berujung memuncak pada Maret 2018 ketika ia menulis tweet “It’s time to #deletefacebook” melalui akun Twitter pribadinya.
Langkah Brian Acton diikuti oleh Jan Koum pada April 2018. Pada akun Facebook-nya, Koum mengumumkan bahwa ia ingin menghabiskan waktu untuk “collecting rare air-cooled Porsches, working on my cars and playing ultimate frisbee”. Alasan utama pengunduran diri Koum sebenarnya adalah menentang rencana Facebook untuk menginterupsi privasi pengguna WhatsApp. Mengingat motto utama yang diusung Koum dan Acton adalah “No ads, no games, no gimmicks”, pada awal Facebook mengakuisisi WhatsApp, keduanya sempat menjanjikan bahwa kerahasiaan data pengguna akan aman dari incaran pengiklan. Namun kedua pihak akhirnya menemukan jalan buntu di akhir cerita. WhatsApp akan mulai menerapkan strategi-strategi monetasi terbaru untuk memaksimalkan potensi jumlah penggunanya yang masif.
“To Acton, invoking this clause seemed simple. The Facebook-WhatsApp pairing had been a head-scratcher from the start. Facebook has one of the world’s biggest advertising networks; Koum and Acton hated ads. Facebook’s added value for advertisers is how much it knows about its users; WhatsApp’s founders were pro-privacy zealots who felt their vaunted encryption had been integral to their nearly unprecedented global growth.” – Forbes